Minggu, 24 Mei 2015

bunuh diri karena faktor budaya

BUNUH DIRI KARENA FAKTOR BUDAYA
Gejala bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia nampaknya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Fenomena ini baru menjadi perhatian publik sejak 1998. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) di dalam laporan paruh tahun 2012 ini menyebutkan bahwa dari bulan Januari sampai dengan Juli 2012, sudah terjadi peristiwa 20 kasus anak bunuh diri. Menurut Arist Merdeka Sirait, Ketua umum Komnas Perlindungan Anak, dari 20 kasus tersebut, penyebab bunuh diri terbanyak adalah urusan putus cinta remaja (delapan kasus), frustasi akibat ekonomi (tujuh kasus), anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis (empat kasus) dan masalah sekolah (satu kasus). Kasus anak bunuh diri termuda adalah berusia 13 tahun. 
Meski tidak terdapat data nasional yang spesifik soal bunuh diri, angka ini kemungkinan akan terus bertambah sampai dengan akhir tutup tahun. Tinggi angka bunuh diri anak dan remaja ini tentu sangat memprihatinkan. Apa yang sebenarnya terjadi terhadap dunia anak dan remaja di Indonesia? Mengapa dari tahun ke tahun peristiwa bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia terus meningkat? Apa motif mereka melakukan bunuh diri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan eksplorasi lebih mendalam. Tulisan pendek ini hanya bermaksud memaparkan gejala bunuh diri anak dan remaja dalam konteks pemahaman budaya lokal di Indonesia, khususnya di daerah kabupaten Gunung Kidul (Yogyakarta). 


Krisis Makna Hidup dan Politik Berbangsa 

Sebagaimana sudah dicatat banyak media, fenomena bunuh diri di Indonesia tidak saja karena faktor tekanan ekonomi. Latar belakang pelakunya juga tidak mesti berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah dan hidup di pedesaan. Fenomena bunuh diri anak-remaja juga mulai marak di perkotaan dan itu menimpa pula dari kalangan keluarga kaya yang berpendidikan tinggi pula. Bahwa kondisi perekonomian seseorang dan tingkat pendidikannya tidak menjamin seseorang bebas dari stress dan mampu mengatasi persoalan hidupnya secara rasional. 
Secara khusus untuk konteks di kabupaten Gunung Kidul, persoalan ekonomi adalah motif yang dapat dideteksi dari kasus bunuh diri. Namun, bunuh diri anak dan remaja yang terjadi, seperti kasus di atas, memberikan nuansa lain. Yakni, persoalan bahwa seorang anak dipaksa berdinamika dengan realitas yang kompleks diluar kemampuan nalar dan kontrol emosinya dalam mengatasi permasalahan – dan memilih jalan pintas untuk memecahkan masalahnya. 

Nuansa ini menjadi semakin kental dalam konteks perkembangan sosial-politik yang terjadi di Indonesia semenjak 1998. Dunia anak dan remaja lepas dari perhatian pemerintah daerah yang asyik bergelut dalam pertarungan politik lokal. Sementara, keluarga yang semestinya menjadi sendi imajinasi bangunan perkembangan anak, menghadapi banyak tantangan. Seorang bapak dan ibu tidak sempat mendampingi sang anak karena sibuk dengan problem dan kompleksitas tantangan kehidupan sosial yang diwarnai kekerasan politik dan atomisasi hubungan inter-personal. Tantangan bagi Indonesia di abad 21 adalah menyediakan kondisi dan ruang yang mumpuni bagi perkembangan nalar dan emosi anak. 
Faktor faktor bunuh diri karena buaya yaitu
Faktor pendukung kematian (pro mortalitas) Faktor ini mengakibatkan jumlah kematian semakin besar. Yang termasuk faktor ini adalah:
- Sarana kesehatan yang kurang memadai.
Contohnya :
Sistem pelayanan umum sebenarnya merupakan satu kesatuan faktor yang dibutuhkan dalam terselenggaranya suatu pelayanan umum. Sistem pelayanan umum ini terdiri atas empat faktor: pertama, sistem, prosedur dan metode; yaitu dalam pelayanan umum perlu adanya sistem informasi, prosedur dan metode yang mendukung kelancaran dalam   memberikan pelayanan. Kedua, personil, terutama ditekankan pada prilaku aparatur; dalam pelayanan umum aparatur pemerintah selaku personil pelayanan harus profesional, disiplin dan terbuka terhadap kritik dari pelanggan atau masyarakat. Ketiga, sarana dan prasarana; dalam pelayanan umum diperlukan peralatan dan ruang kerja serta fasilitas pelayanan umum misalnya ruang tunggu, tempat parkir yang memadai. Dan terakhir, masyarakat sebagai pelanggan; dalam pelayanan umum masyarakat sebagai pelanggan sangatlah heterogen baik tingkat pendidikan maupun perilakunya.
- Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan
Contohnya :
1 Karena masyarakat biasa hidup dilingkungan kumuh 
2 kurangnya sarana dan prasarana 
3 Kurangnya kesadaran akan kesehatan
4 sering mengonsumsi makanan yg tidak layak dipakai 
5 Kurang perhatian

-Terjadinya berbagai bencana alam
            Contohnya :
1.      Banjir adalah bencana akibat curah hujan yang tinggi dengan tidak diimbangi dengan saluran pembuangan air yang memadai sehingga merendam wilayah-wilayah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang ada di sana
2.       Tanah Longsor  adalah tanah yang turun atau jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah
3.      Kebakaran Hutan  adalah kebakaran yang diakibatkan oleh faktor alam seperti akibat sambaran petir, kekeringan yang berkepanjangan, leleran lahar, dan lain sebagainya.
4.      Pencemaran Air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia.
5.      Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti.
-Faktor Budaya Bunuh Diri di Negeri Ginseng
Mendengar kata Seoul ibu kota dari Korea selatan ini pasti mengingatkan kitapada artis-artisnya yang terkenal cantik dan tampan bahkan sekarang korea bisa dikatakan sudah mendunia, Siapa yang tak mengenal negeri ginseng tersebut, ya mulai dari budaya, kuliner, wisata, artis-artisnya, bahkan gaya berbusana artisnya maupun masyarakat disana dijadikan trend di seluruh dunia termasuk Indonesia. Korea di kenal dengan gaya berbusananya yang casual dan modis, selalu di puja-puja oleh fans dari berbagai penjuru dunia, dengan gaya hidup yang bisa dikatakan glamour serta oplas yang sering di lakukan baik dari kalangan selebriti maupun masyarakat biasa. (Kembali ke masalah artis), ternyata menjadi artis di korea tidaklah gampang, bagaimana tidak? Dilihat dari segi persaingan industry hiburan yang sangat ketat tak jarang membuat para artisnya depresi bahkan nekat membunuh diri dan sepertinya bisa dikatakan menjadi budaya mereka (?).
Dari segi umumnya tingkat bunuh diri baik dari kalangan artis maupun masyarakatnya Menurut data statistik menyatakan, tingkat bunuh diri di korea selatan menempati urutan pertama di dunia, kemudian disusul oleh Hungaria dan Jepang (data OECD FactBook 2010). Sebanyak 29,9 dari 100 ribu penduduk korea yang bunuh diri, dan 19,1 persen untuk data kuantitatif angka bunuh diri di Jepang. Dari kasus bunuh diri tersebut yang paling di soroti dari kalangan artisnya sendiri. Bagaimana tidak, korea yang terkenal seantero jagat ( ^_^) karena artisnya yang terkenal memiliki paras cantik maupun tampan dan bahkan tak jarang remaja kita pingin mengunjungi Negara tersebut namun malah menjadi tempat tingkat kerawanan hidup yang tinggi, tidak heran mereka melakukan hal tersebut karena memang persaingan baik dari industry musik maupun perfilman disana sangat ketat, yang bisa membuat para artisnya depresi.

-Depresi, Penyebab Tingginya Angka Bunuh Diri di Gunungkidul

Jakarta - Gunungkidul menjadi daerah dengan angka kejadian bunuh diri yang tergolong tinggi di Indonesia. Data tahun 2012 menyebutkan, dari jumlah penduduk Gunungkidul sebanyak 680.406 jiwa, jumlah kematian akibat bunuh diri sebanyak 40 orang. Dengan asumsi 1 dari 17.000 orang Gunungkidul meninggal karena bunuh diri.
Pada tahun 2013, angka bunuh diri di Gunungkidul berhasil ditekan menjadi 30 orang. Namun, bila ditotal dari tahun 2005, jumlah yang meninggal akibat bunuh diri sudah mencapai 239 orang.
Dokter spesialis kesehatan jiwa Ida Rochmawati, yang sudah lima tahun menjadi psikiater di Gunungkidul menyebutkan, sebanyak 40 persen pelaku bunuh diri di Gunungkidul adalah golongan lanjut usia (lansia). Namun belakangan ia merasa prihatin, karena banyak anak-anak yang juga mempraktikkan hal tersebut.
"Anak-anak berpikir, bunuh diri bisa jadi permainan di Gunungkidul. Contohnya, anak berusia 12 tahun yang gantung diri karena tidak bisa membayar uang piknik [bersama teman sekolah]. Kasus termuda adalah anak penjual soto yang berusia tujuh tahun. Karena seragam sekolahnya basah, dia lalu memilih bunuh diri," ungkap Ida Rochmawati di acara peringatan "Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia" yang digelar Kementerian Kesehatan RI di Jakarta, Senin (15/9).

Di Gunungkidul, sudah cukup lama berkembang anggapan bunuh diri disebabkan seseorang mendapat pulung gantung. Ida yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Kidul di Wonosari menjelaskan, pulung gantung adalah semacam sinar yang terjun dari langit dan jatuh ke bumi. Bila sinar tersebut jatuh di atas rumah seseorang, maka akan terjadi kasus bunuh diri dengan cara mengantung diri. Apabila orang yang gantung diri tersebut menghadap ke barat, pulung gantung berikutnya bisa diramalkan akan jatuh di daerah barat.
Namun, Ida mengaku tidak mempercayai mitos tersebut. "Saya tidak terlalu percaya, karena saya yang sudah lama tinggal di Gunungkidul tidak melihat hal itu. Media saja yang membesar-besarkannya," ujar dia.
Menurutnya, pemicu bunuh diri di Gunungkidul lebih karena faktor depresi dan juga usia harapan hidup yang semakin tinggi, sementara para lansia ini hidup dengan berbagai penyakit degeneratif.
"Problem ini juga dihadapi daerah-daerah lain, bukan hanya di Gunungkidul. Namun sebetulnya sulit untuk menjelaskan mengenai penyebab bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi yang sama, bahkan lebih buruk tetapi tidak melakukannya," ungkap dia.
Menurut Ida, bunuh diri adalah masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti psikologis, sosial, biologis, budaya, dan lingkungan. Bukan hanya karena satu faktor saja.
Metode

            Cara yang dipilih seringkali dipengaruhi oleh faktor budaya dan ketersediaan dan bisa atau tidak bisa menggambarkan keseriusan maksud. Beberapa cara (misal, melompat dari sebuah gedung yang tinggi) membuat bertahan hidup hampi tidak mungkin, sebaliknya cara lain (misal, obat-obatan dengan dosis yang berlebihan) membuat penyelamatan mungkin. Meskipun begitu, bahkan jika seseorang menggunakan sebuah cara yang terbukti tidak menjadi fatal, maksud tersebut bisa saja seserius pada seseorang yang caranya fatal.

            Minum obat dengan dosis yang berlebihan dan meracuni diri sendiri adalah dua cara yang paling umum digunakan pada upaya bunuh diri. Asetaminofen saat ini adalah obat yang paling umum digunakan dalam upaya bunuh diri, tetapi antidepressan atau obat-obatan kombinasi juga umum digunakan.

            Metode kekerasan, seperti tembakan dan gantungan, tidak biasa diantara upaya bunuh diri karena mereka biasanya mengakibatkan kematian. Pada benar-benar bunuh diri, tembakan adalah cara yang paling sering digunakan di Amerika Serikat. Hal ini adalah cara yang sebagian besar digunakan oleh para pria. Para wanita lebih mungkin untuk menggunakan cara tanpa kekerasana, seperti menggunakan racun, obat dengan dosis yang berlebihan , atau menenggelamkan diri.
AGAMA KATOLIK
CONTOH BUNUH DIRI KARENA FAKTOR BUDAYA
Disusun oleh :
INDAH NIPINIA SARI       (14140074)
Kelas : B.112

DIV BIDAN PENDIDIK, FAKULATAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar